Publik dihentakkan oleh sesuatu pemandangan yang tidak elok dan wajar, seorang tokoh dan pemimpin sebuah Daerah dipajang dan di nobatkan sebagai labelitas kampanye oleh salah satu partai politik. Sebut saja Partai Kedailan Sejahtera (PKS), yang secara terang-terangan menampilkan atribut kampaye di baliho dan spanduk menempelkan foto seorang Gubernur NTB Dr H Zulkiflimansyah.
Apakah ini dilakukan dengan disengaja atau tidak disengaja Partai Kedailan Sejahtera (PKS) NTB yang disebut-sebut sebagai partai pendukung dan partainya Dr Zul, seolah menjelma dan merasa memiliki otoritas kekuasaan dan legalitas hak istimewa atas nama Gubernur NTB.
Mengapa bisa begitu? Tentu jawabannya adalah bukti real dimana-mana spanduk dan baliho yang tersebar di berbagai sudut kota dan kabupeten se-NTB para calon anggota legislatif dari Partai Kedailan Sejahtera (PKS) dengan bangganya memasang foto Gebernur NTB (Dr. Zulkiflimansyah) lengkap dengan baju kebesaran dan lencananya yang pada akhirnya dicabut dan dibongkar kembali.
Pertanyaan publik adalah apakah diperboleh partai politik memasang foto seorang Gubernur dengan memakai baju seragam dinas pemerintahannya?. Tentu yang bisa menjawab hal seperti ini adalah partai politik yang bersangkutan dan partai-partai lainnya yang menjadi kontestan Pemiliu 2019 untuk menjawab keresahan publik.
Respon publik-pun bermunculan terkait sikap PKS NTB yang dengan gagahnya memakai atribut partai dengan menempelkan foto Gubernur NTB, apa yang disampaikan oleh Dr. Zainal Asikan, sebagai pengamat politik dan hukum, menegaskan bahwa partai yang dianggap sudah kuat dan mapan kok masih bisa melakukan pelanggaran kampanye pemilu sebagaimana diatur dalam PKPU No 36 pasal 65 tahun 2017 yang memuat tentang tata cara kampanye dan alat peraga kampanye (APK).
Keberanian Partai Keadilan Sehahtera, mungkin saja ingin menunjukkan kepada publik sebagai partai yang beridiolagi Islam secara fundamentalis sebagai upaya mengembalikan proses modernisasi keterbukaan dan ketidakpastian.
PKS sebagai partai fundamnetalis Islam seoalah ingin memasang keyakinan publik dan pandangan masyarakat untuk meyakini bahwa organisasi partainya menyelipkan orentasi kepentingan atas ketidak kepastian terhadap perubahan yang selama ini. Padahal apa yang ditampikan di permukaan hanyalah sikap absolurtisme dalam politik, dimana mereka merampas hak warga masyarakat lainya di ruang publik, mematikan ruang kritik. (Baca: Thomas Meyer).
Bisa jadi ini wajah sesungguhnya partai politik yang mencoba menawarkan perubahan, dengan seloganisasi agama sebagai tameng politik, fakta politik ini menjelaskan keberadaan partai Islam, sejenisnya Partai Keadilan sejarah (PKS) yang menjelma sebagai partainya kelompok Islam yang fundamental.
Bukti empirisnya adalah dengan jargon-jargon syariat Islam dan daulah islamiyah.
Bukti empirisnya adalah dengan jargon-jargon syariat Islam dan daulah islamiyah.
Jualan politik dengan labelisasi Islam yang ditampilkan dengan pesan-pesan agama, ternyata tidak begitu semantic diterimai publik. Maka pilihannya bisa jadi figure seseorang lah yang menjadi panggung publikasi terhadap partainya. itulah yang dilakukan oleh Partai keadilan Sejahtera di NTB.
Fenomona legalitas identitas kepartaian yang mengokohkan seorang Gubernur sebagai magnet untuk menciptakan opini public serta pencitraan partai, bermunculan di era kekinian dan ketidak pede-an partai politik atau calon legeslatif terhadap dirinya semakin menjelaskan bahwa menjadi calon anggota legislitf juga butuh domplengan dan ketenaran orang lain.
Bukan sesuata yang tidak mendasar juga,jika Partai Kedailan Sejahtera (PKS)NTB yang mencoba melengkapi alat peraga kampanye dengan simbol seorang Gubernur, tanpa ada komunikasi awal yang menyebut bahwa Dr. Zul sebagai Gubernur dan salah satu kader PKS dan pentinggi partai yang ditunjuk sebagai ketua pemenangan di pemilu wilyah NTB.
Apa yang dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) NTB , sebuah gambaran bahwa partai yang dianggap memiliki ideologi Islam tidak cukup ternyata bisa menjual identias partainya. Maka yang dilakukan adalah menjual ketokohan seorang Gubernur yang sejatinya dimiliki oleh semua rakyat NTB dan partai lainnya yang telah mendukung Dr. Zul sebagai Gubernur NTB pada pilkada 2018 yang lalu.
Fundamentalisme politik identitas kepartaian yang menjadi jargon Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mungkin sudah mulai tidak menarik untuk dipasarkan di tengah masyarakat yang semakin canggih dan serba digital. Dengan mengabil pilihan tokoh seorang Gubernur yang nota bene sebagai kader partainya. Padahal dimana- mana Dr. Zul sebagai Gubernur selalu menyatakan bahwa “saya adalah milik semua rakyat NTB dan bukan milik partai tertentu.
Kegiatan politik simbolisasi, sepantasnya sudah tidak disematkan lagi oleh partai sekelas PKS yang sudah dianggap mapan dan mempunyai infrastruktur partai.
Ini sebuah gambaran. Bahwa pencitraan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggaungkan keadilan dan kesejahteraan dengan basis idiologi Islam fundamentalis, semakin melemah ditengah publik.
Ini sebuah gambaran. Bahwa pencitraan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggaungkan keadilan dan kesejahteraan dengan basis idiologi Islam fundamentalis, semakin melemah ditengah publik.
Dengan memakai sosok dan figur seorang Gubernur yang sejatinya, harus menujukkan sebagai tokoh yang merepresentasikan semua orang, partai, organisasi dan masyarakat pada umumnya. Jika ini dibiarkan tanpa ada sikap kejelasan, dan mengakibatkan pembiaran yang melemahkan keyakinan publik.
Betapa tidak seorang Gubernur NTB yang menjadi icon kebanggan publik, dengan banyak gagasan dan program yang mengatasnamakan demi kepentingan masyarakat NTB umumnya, ternyata berubah dan menjelama menjadi seorang yang dipatenkan oleh partai PKS, boleh juga menjadi hak semua partai pendukung atas nama Gubernur menjadi simbol dalam partainya.
Akan tetapi, berbanding terbalik dengan apa yang sering rakyat NTB mendengar langsung statemen dan pidato seorang Dr. Zul, dengan tegas dan lantang mengatakan “Bahwa saya adalah milik semua masyarakat NTB dan ingin mengabdi untuk NTB yang gemilang”.
Jika komitmen ini, hanya diucapkan sekedar pemanis aja, maka yang dominan adalah kepentingan politik yang lebih besar dikedepankan oleh seorang Gubernur, tentu ada waktu yang akan menguji komitmen ke NTB- an buat Dr. Zul, jika dengan tulus membangun NTB, bukan sekedar pemanis kata-kata dalam setiap forum pertemuan tokoh agama mauapun tokoh masyarakat, begitu juga dalam forum ormas dan partai politik di NTB.
Ini adalah ujian awal bagi seorang Dr. Zul yang disematkan oleh Gubernur NTB dengan beredarnya baliho, bukan sekedar pemanis politik semata, akan tetapi ini adalah citra negative yang menempel pada seorang sosok Dr. Zul (Gubernur) yang selalu dianggap sebagai Gubernur yang apa adanya dan selalu mengayomi semua pihak.
Apa yang disematkan oleh rakyat selama ini kepada seorang Gubernur NTB (Dr Zul) yang telah menampikan keberpihakan kepada semua pihak dan semua eleman tanpa perbedaan partai dan kelompok, maka jika dipublik berbeda dengan sikap politik pribadinya atas nama partai yang membesarkannya. Maka sudah tidak terbantahkan lagi bahwa agenda politik besar yang coba dimainkan dan dibungkus oleh seorang Dr Zul, akan terbaca dengan mudah. Wallahuawambissawab.(*)
Penulis adalah Suaeb Qury, Pendiri Laboraturium Kader NU NTB
www.lombokfokus.com