Gubernur NTB (Kiri), Ruslan Beko (Kanan). (Dok: Istimewa) |
Opini – Beasiswa merupakan program terpenting dalam menunjang pendidikan suatu bangsa. Dalam perkembangan sejarah kepemerintahan, banyak Negara yang menerapkan sistem ini dengan cara mulai dari digratiskan kuliah sampai tanggungan uang saku.
Indonesia sendiri merupakan salah satu Negara yang ikut menerapkan sistem beasiswa terhadap mahasiswa kurang mampu untuk menggapai SDM yang berkualitas. Tak tanggung-tanggung beasiswa yang di terapkan cukup banyak seperti BIDIKMISI, Generasi BI, Beasiswa Prestasi dan lain sebagainya.
Dewasa ini ada salah satu sisi yang menjadi sorotan analisis saya yaitu terkait dengan jangkauan kebebasan berekspresi mahasiswa peraih beasiswa terkait. Sebut saja beasiswa BIDIKMISI misalnya, mahasiswa diatur sedemikian rupa oleh kampus dan dibatasi secara tidak wajar yang menurut saya keluar dari marwah identitas mahasiswa, rata-rata kampus melarang mahasiswa BIDIKMISI untuk melakukan tindakan aksi advokasi publik, padahal hal demikian sudah diberi ruang oleh Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyapaikan pendapat di muka umum.
Mereka biasanya diiming-imingi dengan pencabutan beasiswa sehingga menimbulkan rasa takut untuk bersuara di depan kepemerintahan sebagaimana mahasiswa aktivis pada umumnya. Tidak jauh beda dengan sistem yang diterapkan oleh beasiswa lainnya yang hanya punya satu fokus yaitu akademisi. Yang menarik lagi baru-baru ini muncul di publik terkait dengan beasiswa Luar Negeri yang merupakan program unggulan Gubernur NTB.
Tempat menariknya adalah beasiswa ini diprioritaskan aktivis yang sering turun kejalan (advokasi Publik), dengan kata lain adanya indikasi membungkam suara aktivis terhadap kekeliruan yang dilakukan oleh pemerintah, padahal tujuan dari advokasi publik itu sendiri untuk meluruskan kinerja pemerintahan sehingga sesuai dengan harapan bersama. Dan yang lebih parahnya lagi kurang transparansinya program Gubernur NTB tersebut yang bersumber dari APBD, mungkin harus kita sosialisasikan undang-undang KIP biar paham. Intinya jika hala kebijakan tidak dapat merugikan, maka setiap kegiatan kebijakan publik harus diberikan transparansi. Kemungkinan dengan cara itu aktivis akan bungkam dan diam (idealisme dipenjarakan), buktikan saja kalau jaringan yang mendapatkan beasiswa ini berani turun kejalan jika melihat kekeliruan dan bahkan kesalahan yang dibuat okeh PEMDA NTB.
Kita harus sadar bahwa anggaran itu dasarnya dari uang rakyat, jadi mulai sekarang kita harus berpikir logis dala menanggapi hal-hal semacam ini.
Oleh: Ruslan Beko
Penulis merupakan mahasiswa yang pernah mendapatkan beasiswa Generasi Bank Indonesia.