Opini  

HARGANAS: Momentum Penguatan Pendidikan Keluarga.

Masyhur (Pendidik dan Bergiat di Bina Muda Insani Foundation NTB)

Opini, (Lombok Fokus)- Kegiatan memperingati hari, tanggal dan tahun bersejarah di tanah air saban tahun dimeriahkan. Peringatan hari bersejarah, jadi penguat bahwa tradisi (yang baik) harus dijaga dan dipelihara. Selain sebagai refleksi, juga sebagai momentum evaluasi, koreksi dan perbaikan. Di sinilah titik tekan makna tradisi tersebut. Begitu halnya peringatan Harganas yang diperingati pada 29 Juni tahun ini.
Mengusung tema, “Hari Keluarga, Hari Kita Semua” sesungguhnya merefleksikan bahwa setiap pemimpin atau kepala keluarga memiliki tanggungjawab yang mulia untuk menddidik anak, mendidik mereka menjadi calon generasi penerus yang baik dan berkualitas di masa yang akan datang.
Orang tua harus menjadi figur teladan yang patut dicontoh oleh putra putrinya dalam lingkungan keluarga. Segala peran, segala cara harus dilakoni guna memberikan suri tauladan yang positif kepada anak-anaknya. Jika peran ini, tidak mampu dilakukan, memungkinkan sesuatu yang buruk (negatif) terhadap putra-putrinya. Realitas menunjukkan bahwa, banyak anak yang tega membunuh orang tuanya, sebaliknya tidak sedikit orang tua mengancam bahkan lebih sadis lagi melakukan pembunuhan terhadap anak kandunnya sendiri. Fakta-fakta lain, seperti terjadinya kasus pencabulan, pemerkosaan terhadap perempuan anak kandung seorang bapak menjadi gambaran bahwa pendidikan keluarga telah dikerubungi awan hitam. Sedih, memilukan bahkan menyesatkan.
Untuk itu, tradisi Harganas harus menjadi momentum emas untuk mengurai benang kusut pendidikan keluarga yang selama ini miris terjadi. Banyak cara dan sesuatu yang dilakukan untuk menguatkan pendidikan keluarga. Baik melalui kebijakan-kebijakan dan atau aksi-aksi nyata yang lebih menyentuh problem di tengah-tengah masyarakat. Massifnya media sosial, kian canggihnya penggunaan informasi dan teknologi harus mampu dimanfaatkan ke arah sesuatu yang lebih edukatif menyosialisasikan aspek-aspek yang bermanfaat untuk penguatan fondasi membangun pendidikan keluarga.
Lingkungan Keluarga
Keberadaan orang tua dalam lingkungan keluarga sangat menentukan bagaimana keberlangsungan pendidikan anak.  Keluarga adalah Elemen terkecil dari lingkungan social masyarakat. Tidak hanya itu, rumah bernama keluarga adalah fundamen atas segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan.kata lainnya, lingkungan keluargalah tumpuan satu-satunya harapan membentuk karakter anak sejak dini.
Saat ini, kita berhadapan dengan zaman yang jauh berbeda dengan apa yang kita hadapi di masa-masa sebelumnya. Dahulu, kecendrungan anak terhadap teknologi alat komunikasi terbilang rendah bahkan tidak ada, namun sekarang realitas itu berbalik seratus derajat. Begitu banyak waktu anak-anak tersita oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dengan bermain game, berteman lama dengan handpone/smartphone setiap hari. Kenyataan ini tentu dapat menjadi fenomena memprihatinkan bagi pendidikan anak. 
Dengan demikian, peran nyata orang tua, di tengah-tengah keluarga sepenuhnya harus memiliki arti bagi dunia anak/putra-putrinya. Secara nyata, orang tua di rumah harus mengawasi anak secara intens agar tidak membuat anak gila “handpone, gedget. Dalam pengertian bahwa anak-anak harus mendapat perhatian dari orang tuanya untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar si anak tidak melulu sibuk dan kebablasan oleh aneka suguhan canggih teknologi, hingga sampai melupakan hal prioritas. Orang tua harus me-mangatur waktu putra putrinya: kapan waktu bermain dan kapan waktu belajar (membaca dan menulis). 
Mengapa strategi ini dibutuhkan?
Untuk membendung perubahan dan dinamika yang terjadi secara terus menerus dalam kehidupan ini, terutama kehidupan anak di lingkungan keluarga, lebih-lebih di lingkungan masyarakat.
Budaya Literasi
Peringatan Harganas diharapkan tidak sekedar uoforia semata bagi masyarakat anak bangsa. Tetapi Harganas harus menjadi momentum yang baik untuk senantiasa mengedukasi masyarakat tentang pentingnya membangun keluarga sejahtera lahir dan batin. Lebih khusus lagi, peran keluarga untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak sebagai tunas bangsa di masa-masa yang akan datang.
Dalam pendidikan, hal paling utama dan sangat penting adalah aspek literasi (membaca-menulis). Karenanya, menjadi tugas kita semua, masing-masing kita dalam lingkungan keluarga untuk sedari dini memainkan peran agar anak tak sekedar dekat dengan dunia literasi tetapi juga mencintai budaya literasi. Tanpa budaya literasi yang yang tidak tertanam dari awal bagi kehadiran anak di tengah-tengah keluarga, maka tingkat pendidikan literasi anak semakin menambah angka-angka miris ikhwal rendahnya budaya tulis di tanah air.
Sejumlah lembaga survei telah banyak menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat keberliterasiaan rendah. Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan, budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 menempati posisi terburuk kedua. Posisi Indonesia berada diurutan ke 64 dari 65 negara yang disurvei. Empat tahun setelah penelitian PISA, ternyata posisi budaya literasi bangsa ini belum mengalami perubahan signifikan. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) di New Britain, Conn, Amerika Serikat tahun 2016, menempatkan literasi di Indonesia pada peringkat ke 60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia hanya satu peringkat lebih baik dari Botswana, sebuah negara miskin di kawasan selatan Afrika (Hadiansyah, 2019:10).
Mencermati semesta problem di atas, dapat disimpulkan betapa lemahnya budaya literasi masyarakat Indonesia. Salah satu dari sekian penyebab, mengapa bisa terjadi, tentu disebabkan kecendrungan masyarakat terbatas pada budaya menonton, budaya dongeng dan cerita, bukan budaya membaca. Untuk itu, starting point di lingkungan keluarga, tak syak lagi, sebagai awal sangat baik untuk menanam budaya dan cinta literasi yang kelak akan mengalami kelanjutan yang baik dan strategis bagi pengembangan budaya literasi dalam lingkungan yang lebih besar yakni: masyarakat dan bangsa. Jika ini mampu diwujudkan oleh ibu-bapak sebagai leader dalam sebuah rumah tangga secara otomatis akan merangsang tumbuhnya kepekaan literasi yang berimbas pada praktik nyata dalam kehidupan.  Dan jika setiap keluarga memiliki ke
pekaan literasi dan mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan ini akan berdampak pada hubungan interaksi keluarga dan masyarakat (Hadiansyah, 2019:31). Semoga peringatan Harganas menjadi spirit pendidikan keluarga. Selamat Harganas !.
Oleh: Masyhur

Penulis merupakan Pendidik dan Bergiat di Bina Muda Insani Foundation NTB

www.lombokfokus.com

Opini  

HARGANAS: Momentum Penguatan Pendidikan Keluarga.

Masyhur (Pendidik dan Bergiat di Bina Muda Insani Foundation NTB)

Opini, (Lombok Fokus)- Kegiatan memperingati hari, tanggal dan tahun bersejarah di tanah air saban tahun dimeriahkan. Peringatan hari bersejarah, jadi penguat bahwa tradisi (yang baik) harus dijaga dan dipelihara. Selain sebagai refleksi, juga sebagai momentum evaluasi, koreksi dan perbaikan. Di sinilah titik tekan makna tradisi tersebut. Begitu halnya peringatan Harganas yang diperingati pada 29 Juni tahun ini.
Mengusung tema, “Hari Keluarga, Hari Kita Semua” sesungguhnya merefleksikan bahwa setiap pemimpin atau kepala keluarga memiliki tanggungjawab yang mulia untuk menddidik anak, mendidik mereka menjadi calon generasi penerus yang baik dan berkualitas di masa yang akan datang.
Orang tua harus menjadi figur teladan yang patut dicontoh oleh putra putrinya dalam lingkungan keluarga. Segala peran, segala cara harus dilakoni guna memberikan suri tauladan yang positif kepada anak-anaknya. Jika peran ini, tidak mampu dilakukan, memungkinkan sesuatu yang buruk (negatif) terhadap putra-putrinya. Realitas menunjukkan bahwa, banyak anak yang tega membunuh orang tuanya, sebaliknya tidak sedikit orang tua mengancam bahkan lebih sadis lagi melakukan pembunuhan terhadap anak kandunnya sendiri. Fakta-fakta lain, seperti terjadinya kasus pencabulan, pemerkosaan terhadap perempuan anak kandung seorang bapak menjadi gambaran bahwa pendidikan keluarga telah dikerubungi awan hitam. Sedih, memilukan bahkan menyesatkan.
Untuk itu, tradisi Harganas harus menjadi momentum emas untuk mengurai benang kusut pendidikan keluarga yang selama ini miris terjadi. Banyak cara dan sesuatu yang dilakukan untuk menguatkan pendidikan keluarga. Baik melalui kebijakan-kebijakan dan atau aksi-aksi nyata yang lebih menyentuh problem di tengah-tengah masyarakat. Massifnya media sosial, kian canggihnya penggunaan informasi dan teknologi harus mampu dimanfaatkan ke arah sesuatu yang lebih edukatif menyosialisasikan aspek-aspek yang bermanfaat untuk penguatan fondasi membangun pendidikan keluarga.
Lingkungan Keluarga
Keberadaan orang tua dalam lingkungan keluarga sangat menentukan bagaimana keberlangsungan pendidikan anak.  Keluarga adalah Elemen terkecil dari lingkungan social masyarakat. Tidak hanya itu, rumah bernama keluarga adalah fundamen atas segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan.kata lainnya, lingkungan keluargalah tumpuan satu-satunya harapan membentuk karakter anak sejak dini.
Saat ini, kita berhadapan dengan zaman yang jauh berbeda dengan apa yang kita hadapi di masa-masa sebelumnya. Dahulu, kecendrungan anak terhadap teknologi alat komunikasi terbilang rendah bahkan tidak ada, namun sekarang realitas itu berbalik seratus derajat. Begitu banyak waktu anak-anak tersita oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dengan bermain game, berteman lama dengan handpone/smartphone setiap hari. Kenyataan ini tentu dapat menjadi fenomena memprihatinkan bagi pendidikan anak. 
Dengan demikian, peran nyata orang tua, di tengah-tengah keluarga sepenuhnya harus memiliki arti bagi dunia anak/putra-putrinya. Secara nyata, orang tua di rumah harus mengawasi anak secara intens agar tidak membuat anak gila “handpone, gedget. Dalam pengertian bahwa anak-anak harus mendapat perhatian dari orang tuanya untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar si anak tidak melulu sibuk dan kebablasan oleh aneka suguhan canggih teknologi, hingga sampai melupakan hal prioritas. Orang tua harus me-mangatur waktu putra putrinya: kapan waktu bermain dan kapan waktu belajar (membaca dan menulis). 
Mengapa strategi ini dibutuhkan?
Untuk membendung perubahan dan dinamika yang terjadi secara terus menerus dalam kehidupan ini, terutama kehidupan anak di lingkungan keluarga, lebih-lebih di lingkungan masyarakat.
Budaya Literasi
Peringatan Harganas diharapkan tidak sekedar uoforia semata bagi masyarakat anak bangsa. Tetapi Harganas harus menjadi momentum yang baik untuk senantiasa mengedukasi masyarakat tentang pentingnya membangun keluarga sejahtera lahir dan batin. Lebih khusus lagi, peran keluarga untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak sebagai tunas bangsa di masa-masa yang akan datang.
Dalam pendidikan, hal paling utama dan sangat penting adalah aspek literasi (membaca-menulis). Karenanya, menjadi tugas kita semua, masing-masing kita dalam lingkungan keluarga untuk sedari dini memainkan peran agar anak tak sekedar dekat dengan dunia literasi tetapi juga mencintai budaya literasi. Tanpa budaya literasi yang yang tidak tertanam dari awal bagi kehadiran anak di tengah-tengah keluarga, maka tingkat pendidikan literasi anak semakin menambah angka-angka miris ikhwal rendahnya budaya tulis di tanah air.
Sejumlah lembaga survei telah banyak menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat keberliterasiaan rendah. Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan, budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 menempati posisi terburuk kedua. Posisi Indonesia berada diurutan ke 64 dari 65 negara yang disurvei. Empat tahun setelah penelitian PISA, ternyata posisi budaya literasi bangsa ini belum mengalami perubahan signifikan. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) di New Britain, Conn, Amerika Serikat tahun 2016, menempatkan literasi di Indonesia pada peringkat ke 60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia hanya satu peringkat lebih baik dari Botswana, sebuah negara miskin di kawasan selatan Afrika (Hadiansyah, 2019:10).
Mencermati semesta problem di atas, dapat disimpulkan betapa lemahnya budaya literasi masyarakat Indonesia. Salah satu dari sekian penyebab, mengapa bisa terjadi, tentu disebabkan kecendrungan masyarakat terbatas pada budaya menonton, budaya dongeng dan cerita, bukan budaya membaca. Untuk itu, starting point di lingkungan keluarga, tak syak lagi, sebagai awal sangat baik untuk menanam budaya dan cinta literasi yang kelak akan mengalami kelanjutan yang baik dan strategis bagi pengembangan budaya literasi dalam lingkungan yang lebih besar yakni: masyarakat dan bangsa. Jika ini mampu diwujudkan oleh ibu-bapak sebagai leader dalam sebuah rumah tangga secara otomatis akan merangsang tumbuhnya kepekaan literasi yang berimbas pada praktik nyata dalam kehidupan.  Dan jika setiap keluarga memiliki ke
pekaan literasi dan mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan ini akan berdampak pada hubungan interaksi keluarga dan masyarakat (Hadiansyah, 2019:31). Semoga peringatan Harganas menjadi spirit pendidikan keluarga. Selamat Harganas !.
Oleh: Masyhur

Penulis merupakan Pendidik dan Bergiat di Bina Muda Insani Foundation NTB

www.lombokfokus.com