Mataram, (Lombok Fokus) – tidak adil bisa memicu radikalisme. Untuk menarik benang merahnya tentu tidak selalu dengan cara keras.
“Ini berdasarkan beberapa kali pengalaman ketika saya menangani salah satu pondok pesantren,” kata Ketua Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia TGB HM Zainul Majdi, Kamis (25/7) di Hotel Jayakarta, Lombok Barat.
TGB hadir menjadi salah satu pembicara rapat koordinasi sinergisitas dan monev hubungan antar lembaga pemerintah dalam rangka peningkatan kewaspadaan nasional, Direktorat Kewaspadaan Nasional, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri.
Ulama yang memimpin NTB periode 2008-2018 ini berkisah, kala itu kasus radikal selalu diidentikkan dengan Bima. Stigma ini tidak baik. Ini seolah bentuk ketidakberdayaan.
“Saya pun minta carikan saya pondok paling radikal,” lanjutnya.
Hingga akhirnya, lanjut TGB, ada pondok di pelosok Bima. Terjadi dialog dengan pengasuh pondok. Dikatakan, alasan tak mau menaikkan bendera adalah bentuk perlawanan pada pemerintah. Ustad di pondok tersebut merasa mendapatkan perlakuan yang kurang adil.
“Ada pondok bagus, padahal dua atau tiga tahun berdiri. Pondok itu mendapat dana aspirasi, sehingga bisa dibangun,” terangnya.
“Sementara pondok yang dipimpinnya, jangankan bangunan, jalan saja tak diperbaiki. Bahkan, ustad di pondok ini dijauhi tokoh yang ada,” sambungnya.
Disaat bersamaan, aku TGB, ustad ini menyatakan kebanggaannya karena salah satu muridnya menjadi pengibar bendera di kantor Gubernur NTB.
“Nah, disini tidak naikkan bendera, tapi mendukung muridnya jadi pengibar. Akhirnya kami semua mengajak dari musala ke tengah pondok mengibarkan bendera,” imbuhnya.
TGB pun meminta jajarannya yang ikut membersamai ke Bima menanyakan apa yang menjadi kebutuhan pondok. Kemudian segera memenuhi dan melengkapi.
“Butuh kendaraan operasional, saya minta segera berikan. Ini bisa diketahui setelah ada komunikasi,” tandasnya.
Selama menjadi Gubernur NTB, TGB bermitra dengan Polda NTB, Korem, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Daerah (Binda) untuk menghadapi radikalisme. Ada pihak-pihak yang menghadapi radikalisme, menggunakan tafsiran yang paling mudah. Tidak mau susah payah mencari tahu di lapangan. Di NTB bicara radikalisme tak bisa pendekatan keras.
“Lihat kasus tiap kasus di daerah soal SDA, tak bisa hanya khutbah,” bebernya.
Disebutkan, faktor utama yang bersifat horisontal dibahas. Setidaknya ada tiga faktor yang selalu muncul dan menjadi pemicu radikalisme. Yaitu keagamaan, perebutan sumber daya alam (SDA), dan penegakan hukum yang belum optimal.
“Tidak ada fenomena sosial yang faktornya tunggal. Dengan pendekatan bersama itu masuk, relatif selama dua periode (gubernur) lebih cair,” tandasnya.
Mari Mewarisi Kesepakatan Pendiri Bangsa
Indonesia terdiri atas beragam agama, suku, bangsa, dan golongan. Perbedaan itu membuat bangsa ini rekat. Bandingkan dengan Bangsa Arab, satu bangsa yang kerap berperang. Ada warisan tak terlihat intangible yang merupakan kesepakatan pendiri bangsa. Semua pihak kata TGB seharusnya mensyukurinya.
“Jangan sampai kufur nikmat. Kalau kufur nikmat satu kaki di neraka,” katanya.
Warisan para pendiri bangsa, bukan hanya tertulis seperti Pancasila, UUD 1945, dan dokumen metayuridis lainnya. Warisan tak terlihat itu berupa kesepakatan untuk titik temu. Hal tersebut terlihat ketika hendak kemerdekaan 17 Agustus 1945, pembahasan dilakukan oleh pendiri bangsa dari beragam suku, agama, golongan. Termasuk memiliki aliran pemikiran berbeda-beda.
“Bayangkan kalau Bung Karno berkeras dengan aliran politiknya, M Yamin dengan aliran politiknya, atau Syekh KH Wahid Hasyim dengan keagamaannya. Mereka dengan niat baik, merumuskan semuanya. Kita semua bisa mewarisi,” terang TGB.
Ditambahkan, niat baik ada di tokoh agama, penyelenggara negara, dan tokoh negara selalu mencari titik temu. tidak pernah ada yang absolut atau yang ekstrem tak memiliki ruang. Manusia di nusantara selalu mencari kesepakatan bersama.
“Dari Wali Songo sampai sekarang menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin. Bukan tak belajar khilafah, belajar namun tak bisa diterapkan di Indonesia. Para tokoh republik bukan tak tahu (khilafah), para tokoh memilih Republik karena itu yang bisa mengayomi,” tukasnya.(Red)