MATARAM – Kebersihan adalah sebagian dari Iman. Adagium Islami ini nampak relevan dari zaman ke zaman, dan untuk semua penduduk negara-negara di dunia.
Upaya dunia melawan sampah plastik menjadi salah satu bukti, bahwa kebersihan dan kelestarian lingkungan yang saling berkaitan menjadi perjuangan bersama.
Kota-Kota besar di Indonesia, juga tengah berlomba-lomba menata kawasan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, bebas sampah dan ramah lingkungan.
Kota Mataram sebagai ibukota Nusa Tenggara Barat (NTB) sekaligus barometer kemajuan pembangunan di Provinsi ini, juga terus berbenah.
H Makmur Said ( HMS ) menilai, konsep penataan kawasan dan pengelolaan sampah perkotaan di Mataram sudah berjalan cukup baik.
Dipoles dengan inovasi dan dukungan kebijakan sedikit saja, Mataram bisa menjadi kawasan pilot project untuk mensukseskan Program NTB Zero Waste yang tengah digalakkan pemerintah Provinsi NTB.
“Sekilas (soal tata kota dan pengelolaan sampah) nampaknya memang mudah. Tapi kerja mudah ini diperlukan konsistensi dan keseriusan, jika ingin keberhasilan yang maksimal,” kata HMS, di Kawasan Monjok – Mataram, Minggu ( 25/8 ) .
Menurut Mantan Sekda kota mataram ini, pengelolaan sampah sudah menjadi isu strategis di sejumlah kota besar, kota menengah dan kabupaten di Indonesia. Pendekatannya pun beragam, dengan istilah dan jargon masing-masing yang mencoba menarik perhatian publik.
Tapi, tak sedikit dari kota-kota dan kabupaten itu yang akhirnya tidak maksimal. Jargon tinggal kenangan, sementara sampah masih menjadi masalah nyata.
Makmur menekankan konsistensi sangat dibutuhkan untuk pengelolaan sampah.
“Sebab apa? masalah sampah ini tidak bisa tuntas jika tidak melibatkan pastisipasi aktif semua pihak. Konsistensi dibutuhkan, karena bicara sampah kita bicara habit dan kebiasaan masyarakat, dan merubah mindset ini yang butuh kerja keras,” kata Makmur Said yang maju di pilwali lewat jalur independen.
Ia mengungkapkan, idealnya pengelolaan sampah harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Sehingga potensi pengelolaan sudah dimulai dari lingkungan masyarakat, kemudian sampai pada muaranya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Semakin minim sampah dari rumah tangga di masing-masing lingkungan masyarakat maka semakin minim pula sampah yang menumpuk di TPA.
“Di tingkat hulu, di tengah masyarakat misalnya, pemerintah daerah bisa fasilitasi bagaimana pengelolaannya. Misalnya dengan rumah kreatif yang merubah sampah menjadi kerajinan atau daur ulang,” katanya.
Ia mengaku bangga, di Kota Mataram inisiatif publik untuk membangun rumah keratif sampah sudah bisa ditemui di sejumlah lokasi, meski belum banyak jumlahnya.
Namun menurut HMS ini bisa menjadi contoh baik yang berpotensi direplikasi ke lingkungan lainnya.
“Ini yang saya maksud perubahan mindset. Jadi masyarakat sendiri juga mulai berpikir bagaimana mengubah sampah yang tadinya dianggap tidak bernilai menjadi sesuatu produk yang memiliki nilai ekonomis,” katanya.
Pola Bank Sampah juga bisa ikut andil dalam pengelolaan sampah. Hal ini juga mengubah mindset masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, tetapi mengumpulkan dan memilahnya, kemudian dijual di Bank Sampah yang ada.
Jika sudah tumbuh dan terkoneksi, Bank Sampah juga bisa menjadi penyuplai bahan baku untuk rumah-rumah kreatif sampah yang memproduksi kerajinan bernilai ekonomis.
Lebih jauh HMS mengatakan, pada tahap mengubah mindset ini peran pemerintah dibutuhkan untuk melakukan edukasi dan sosialisasi yang terus menerus dan menggandeng semua pihak termasuk NGO peduli sampah dan juga media massa.
“Intinya bagaimana masyarakat itu sadar bahwa jika mereka mampu mengelola sampah di lingkungannya saja, maka insentif akan datang. Bukan dari pemerintah, tapi dari kerja dan inovasi yang mereka lakukan dengan pemanfaatan sampah. Ini salah satu bagian penting,” katanya.
Figur Birokrat gaek yang berpengalaman dalam hal perencanaan dan penyusunan anggaran ini menekankan, pengelolaan sampah dan tata kota harus menjadi prioritas.
“Baik dari sisi anggaran maupun kegiatan, persoalan sampah dan pengelolaannya harus jadi priorotas yang menjadi perhatian serius,” katanya.
Penambahan jumlah sarana angkutan atau armada sampah juga harus dilakukan seiring dengan pengangkatan tenaga atau sumber daya manusia yang sesuai dan berkapasitas.
Pelibatan semua pihak terutama para generasi muda, millenials juga harus terus dilakukan.
“Anak-anak muda kita kan punya trend ada grup nongkrong sesuai passion muda masing-masing. Nah, kelompok millenials ini harus bisa dilibatkan menjadi agen-agen perubahan dalam hal mengatasi masalah sampah perkotaan,” katanya.
Menurut HMS, jika semua komponen dan sistem yag dibutuhkan untuk pengelolaan sampah dari hilir hingga hulu sudah terbangun, maka penataan kota pun akan semakin mudah dan semakin indah.
Sarana pendukung seperti tempat sampah umum di ruang-ruang publik seperti taman-taman kota dan pusat perbelanjaan juga harus terus menerus dilengkapi, walau bertahap.
“Kebersihan adalah sebagian dari iman itu sangat pas. Tapi, dalam banyak kasus orang mau buang sampah dan tidak menemukan tempat sampah, ini kasuistik tapi sebenarnya menggelitik kita untuk memikirkan,” pungkas HMS.