PMI dan Keluarganya Perlu Dilatih Bisnis Agar Modal jadi Migran Bisa Tumbuh jadi Juragan

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi membuka kegiatan Pelatihan "Migrantpreneurs/Juragan Migran" untuk mendorong inkubasi bisnis UMKM Pekerja Migran yang merupakan bagian dari program.

DetikNTBCom – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi membuka kegiatan Pelatihan “Migrantpreneurs/Juragan Migran” untuk mendorong inkubasi bisnis UMKM Pekerja Migran yang merupakan bagian dari program.

Pemberdayaan Sosial Ekonomi Pekerja Migran Indonesia di Nusa Tenggara Barat. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Rumah Perempuan Migran dan IOM UN Migration via zoom, Selasa-Rabu (2-3/04/2024).

gambar Iklan

Dalam sambutannya, Aryadi mengapresiasi Rumah Perempuan Migran dan IOM atas upaya mereka dalam memperkuat Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan keluarganya dengan mengadakan kegiatan diskusi terkait bagaimana para migran dapat menjadi “juragan” dalam bisnis mereka.

Aryadi menekankan pentingnya modal, bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi juga pengalaman dan keterampilan yang didapat oleh PMI selama bekerja di luar negeri. Modal ini dapat dikembangkan menjadi kegiatan produktif baik oleh PMI yang telah pulang maupun yang masih bekerja di luar negeri, sehingga remitance yang dikirimkan ke keluarga mereka dapat digunakan untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif.

“Setelah mendapatkan pengalaman dan keterampilan di luar negeri, sekarang saatnya dikembangkan dalam bentuk kegiatan yang produktif baik dilakukan oleh PMI itu sendiri atau keluarganya melalui remintance yang dikirimkan guna membangun usaha,” ucap Aryadi.

Menurut data BPS, jumlah angkatan kerja NTB pada tahun ini mencapai 2,89 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sekitar 16% adalah PMI yang bekerja di 108 negara. Malaysia menjadi negara penempatan terbanyak bagi PMI, terutama di sektor kelapa sawit. Namun demikian, penempatan PMI juga terjadi di negara-negara lain seperti Inggris, Jepang dan Korea Selatan.

Aryadi menyoroti bahwa sejak diberlakukannya moratorium penempatan PMI sektor domestik ke Timur Tengah pada tahun 2015, kasus PMI sektor domestik di Timur Tengah mengalami penurunan, meskipun masih terdapat kasus penempatan secara non-prosedural yang menjadi permasalahan bersama.

“Dulu memang NTB mengisi peluang sektor domestik di Timur Tengah, tapi semenjak ada moratorium penempatan sektor domestik di kawasan Timur Tengah mengalami penurunan. Tetapi masih saja ada yang berangkat secara non-procedural, dan ini menjadi permasalahan kita bersama,” ucap Aryadi.

Oleh karena itu, step by step, pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan penyempurnaan bagaimana sistem penempatan, sistem rekrutmen, dan sistem pelatihan untuk menyiapkan PMI kita, agar mereka tidak jadi korban dari calon dan para mafia.

“Dalam dua tahun terakhir, masih terjadi banyak kasus PMI non-prosedural, terutama di sektor domestik sebagai asisten rumah tangga. Namun, dengan langkah-langkah tegas yang diambil melalui perubahan mindset dari UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Neger ke Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, serta pembinaan terhadap pelaku, kasus-kasus tersebut mulai menurun,” papar Aryadi.

Aryadi juga menyampaikan kasus terakhir yang ditangani, yaitu seorang PMI perempuan dari Dompu yang bekerja di Oman dan mengalami penyiksaan oleh majikannya.

“Setelah kita koordinasi dengan KBRI Oman, PMI tersebut segera dipulangkan.” ungkap Aryadi.

Oleh karena itu, Aryadi menekankan kegiatan hari ini merupakan hal yang sangat penting untuk edukasi. Semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, kepala desa, dan lembaga sosial, NGO, harus bekerja sama memberikan sosialisasi dan edukasi untuk mencegah risiko bagi PMI.

“Jika ingin keluar negeri, maka ikuti jalur prosedural, dimulai dari desa. Kades dan jajarannya akan membimbing warga dan bisa memastikan bahwa warga yang direkomendasikan untuk menjadi PMI benar benar memenuhi syarat, melalui perusahaan yang punya ijin dan job order,” tegas Aryadi

Ia menghimbau masyarakat perlu membangun mindset bahwa pemerintah memberikan persyaratan bukan untuk mempersulit, tetapi itu sebagai bentuk kasih sayang dan perlindungan agar PMI yang niatnya bekerja mencari nafkah tidak justru ketemu musibah.

“Dari data PMI yang sudah pulang, memang sebagian ada yang berhasil menjadi wira usaha. Dan itu kita bina dalam program yang kita sebut program pemberdayaan PMI Purna,” ujar Aryadi.

Contohnya di Kumbi ada usaha Kopi Kumbi. Di KLU di Dusun Rempek juga PMI Purna kita ada yang menjadi eksportir kopi ke Timur Tengah karena disana ada lahan kopi seluas 2000 hektare. Di Lombok Tengah juga ada PMI Purna kita yang dulunya bekerja di Malaysia sekarang menjadi eksportir di bibit holtkultikultura. Alumni PMI Jepang juga banyak yang menjadi pengusaha. Ada yang mengembangkan usaha bajaringan dan ada juga yang menjadi pengusaha di luar daerah.

“Ini sebenarnya sangat menginspirasi, bahwa dengan modal pengalaman, jaringan dan uang yang dibawa oleh para PMI kita itu bisa dikembangkan menjadi usaha-usaha yang dapat mendukung perekonomian kita sehingga warga kita tidak kembali menjadi PMI lagi. Meskipun menjadi PMI adalah hak setiap orang, tetapi pemerintah mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi mereka agar mereka yang awalnya berangkat sebagai migran dan pulang bisa sebagai juragan,” kata Aryadi.

Laki-laki yang juga akrab disapa Gede ini menyebutkan bahwa PMI memiliki predikat sebagai pahlawan devisa, sehingga pemerintah harus memberikan perlindungan secara menyeluruh. Sejak tahun 2021, pemerintah Provinsi NTB melalui Disnakertrans Provinsi NTB melaksanakan perlindungan PMI melalui program Pepadu Plus, yang bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pemberdayaan terpadu serta pendampingan manajemen produktivitas untuk wirausaha mandiri.

Dalam Pepadu Plus ini, ada program pemberdayaan PMI Purna, dimana pemerintah memberikan pelatihan kepada keluarga PMI yang memiliki keterampilan dasar atau modal.

“Mereka dilatih sebagai wirausaha sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki, dan juga diberikan dukungan modal peralatan usaha,” ujar Gede.

Meski begitu Gede menekankan pentingnya pendampingan dalam proses ini. Ia mengungkapkan bahwa pengalaman menunjukkan bahwa hanya dengan pelatihan dan peralatan saja tidak cukup untuk menjaga keberhasilan usaha.

“Kita tidak boleh hanya melatih dan memberikan alat. Pengalaman kami kalau hanya dilepas, tidak didampingi, baik untuk mendapatkan permodalan, jaringan, membangun pemasaran, termasuk juga bagaimana manajemen wira usahanya. Itu seringkali modal atau peralatan yang kita berikan, ujung-ujungnya habis,” ungkap Gede.

Karena itu pelatihan produktivitas turut disiapkan juga oleh BPVP Lombok Timur. Mungkin kedepannya, asosiasi Rumah Perempuan Migran bisa bekerjasama dan membangun kolaborasi demi mensejahterakan PMI di NTB, ujar mantan Kadis Kominfotik Prov. NTB tersebut.

Sementara itu Diah Zahara, National Program Officer IOM (International Organization for Migrant) mengatakan dana remitansi menjadi kekuatan modal besar jika dikelola dengan baik. Dari dana ini PMI (pekerja migran Indonesia) bisa membuka usaha baru dan menginvetasikan dananya ke usaha-usaha setelah mereka pulang ke Tanah Air.

“Berdasarkan data BI (Bank Indonesia) akhir tahun lalu, ada kesenjangan financial sebesar 69,5% pelaku UMKM belum mendapatkan akses kredit perbankan,” ungkap Diah.

Karena besarnya potensi permintaan kredit perbankan ini, pemerintah telah menerapkan melakukan strategis khusus bagi UMKM di bidang pembiayaan. Salah satu upaya IOM untuk mendorong wirausaha PMI Purna adalah melalui program percontohan bersama dimana pembiayaan inovatif sedang dlaksanakan saat ini.

Terakhir Diah menyampaikan bahwa IOM juga mengapresiasi sebesar-besarnya kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prov. NTB, BP3MI NTB, Bank Indonesia dan stakeholder terkait yang telah mendukung program pembiayaan yang dilaksanakan Rumah Perempuan Migran dan IOM di wilayah NTB. (Iba)