Perkawinan Anak Tertinggi Nasional, Bapemperda Minta DPRD Panggil Gubernur NTB

Ketua Bapemperda DPRD NTB menerima audiensi dari sejumlah pihak terkait angka perkawinan anak tertinggi di NTB. (Iba/Ist)

Detikntbcom – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) akan melakukan evaluasi terhadap implementasi Peraturan Daerah (Perda) 05/2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.

Evaluasi dilakukan mengingat angka perkawinan anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan trend kenaikan, bahkan kondisinya saat ini menempatkan NTB sebagai provinsi dengan kasus perkawinan anak tertinggi secara nasional.

gambar Iklan

Upaya DPRD ini sebagai respon atas saran dan masukan dari perwakilan kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari Lakpesdam PWNU NTB, LPA NTB, Fatayat NU NTB, Islamic Relief serta perwakilan akademisi, saat melakukan audiensi ke DPRD Provinsi NTB, selasa (23/24) bertempat di ruang rapat Bapemperda DPRD NTB.

Pemerintah Provinsi NTB atas inisiatif DPRD telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 05 tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Keberadaan Perda ini diharapkan akan memperkuat dukungan dan upaya pemerintah dalam mencegah praktek perkawinan anak di NTB. Namun faktanya angka perkawinan anak menunjukkan trend kenaikan.

“Kami heran, bukannya keberadaan perda mampu menekan angka perkawinan anak, justru faktanya kasus perkawinan anak terus naik, bahkan menempatkan NTB sebagai provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi se-Indonesia,” ungkap Ketua Lakpesdam PWNU NTB Muhammad Jayadi di hadapan Ketua dan anggota Bapemperda DPRD Provinsi NTB.

Katanya, di tengah usaha penurunan angka perkawinan anak secara nasional hingga 7,5 persen pada tahun 2023, ternyata Indonesia masih dihadapkan pada persoalan perkawinan usia anak.

Berdasarkan Susenas BPS, Proporsi perkawinan anak di Indonesia tahun 2023 sebesar 6,92 persen. Ironisnya berdasarkan Susenas tersebut, NTB menempati urutan pertama di Indonesia yaitu 17,32 persen, jauh di atas angka rata-rata nasional.

Padahal tahun 2021, Pemerintah Provinsi NTB telah menetapkan Perda 05 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan anak. “Harus ada evaluasi terhadap implementasi dan penegakan Perda ini,” pinta Jayadi.

Sementara itu, anggota LPA Provinsi NTB Sukran Hasan menjelaskan, kenaikan angka perkawinan anak di NTB disebabkan beberapa faktor diantaranya rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam melihat kasus perkawinan anak sebagai masalah utama daerah, dukungan anggaran yang rendah bahkan nihil, tidak inovatif dan kreatifitas menyusun program/ kegiatan serta sinergi dan kolaborasi antar dinas/ instansi dalam merespon permasalah perkawinan anak sangat lemah.

“Kita minta DPRD menggunakan fungsi kontrol dan pengawasannya untuk menilai kinerja dinas/ instansi terkait dalam mengimplementasikan dan menegakkan perda 05 tahun 2021. Penting bagi DPRD untuk memanggil Gubernur dan instansi terkait untuk dimintai penjelasan,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Bapemperda DPRD Provinsi NTB Akhdiansyah, merespon positif apa yang disampaikan oleh perwakilan masyarakat sipil.

Menurutnya, apa yang disampaikan oleh teman-teman LSM sangat membantu DPRD dalam melihat dampak dan perkembangan implementasi Perda 05 tahun 2021.

Data-data dan informasi yang disampaikan oleh LSM terkait trend kenaikan kasus perkawinan anak menjadi rujukan untuk melakukan evaluasi implementasi Perda ini, termasuk melakukan penilaian terhadap kinerja eksekutif dalam mendukung penegakan produk-produk legislasi yang telah ditetapkan DPRD.

“Sekitar bulan Juni-Agustus, Bapemperda akan melakukan evaluasi terhadap beberapa Perda yang dinilai kurang efektif untuk mendukung kemajuan pembangunan daerah. Dari informasi, masukan dan saran dari teman-teman LSM, kami akan memasukkan perda 05 tahun 2021 sebagai salah satu perda prioritas yang akan dievaluasi. Mengingat perkawinan anak sangat berdampak pada meningkatnya anak putus sekolah, risiko kematian ibu dan anak, bayi lahir prematur, stunting, KDRT,  perceraian, dan kemiskinan,”beber pria disapa Yongki itu. (Iba)