Keberpihakan Putusan MK dan Peluang Pemuda Pimpin Indonesia 2024

Penulis: Andi (Iba/Istimewa)

Oleh: Andi*

Menjadi diskursus menarik dan perhatian elit, terkait dengan putusan MK berkaitan dengan dikabulkannya permohonan uji materi tentang persyaratan menjadi Capres dan Cawapres yakni bukan lagi berkaitan dengan batas usia.

gambar Iklan

Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasal 169 Huruf q pada intinya MK berpendapat usia 40 tahun atau sepanjang dimaknai pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum.

Putusan MK telah mencerminkan putusan yang mewakili suara rakyat dan generasi muda, karna pada prinsipnya dalam berdemokrasi kita memiliki hak yang sama, yaitu hak dipilih dan memilih, serta memiliki kedudukan yang sama dalam konstitusi jika dikaitkan dengan demokrasi.

Menarik dinamika tentang putusan MK ini, karena tidak sedikit yang mendukung atas nama generasi muda. Karena atas putusan tersebut pemuda bisa ikut terjun terlibat dalam politik.

Beberapa ada yang berpendapat bahwa ini merupakan putusan yang bertujuan untuk melanggengkan politik dinasti, bagaimana bisa dikatakan politik dinasti sedangkan jabatan ini dipilih melalui mekanisme Pemilhan Umum (Pemilu) dan kehendak rakyat (the will of the people) juga memiliki batasan masa jabatan dua kali artinya bukanlah dinasti politik.

Jika kita bicara dinasti politik secara holistik maka ada beberapa partai di Indonesia dimana partai tersebut berdinasti. Bukankah partai politik memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh dalam mengusulkan calon kepala daerah baik pada tingkat daerah hingga pusat, bahkan mengusulkan Capres Cawapres.

Menurut saya tidaklah tepat jika putusan ini dikaitkan dengan politik dinasti tertentu. Karena bagaimana pun, yang memiliki hak dan kewenangan penuh dalam mengusulkan Capres Cawapres adalah partai politik dan atau gabungan partai politik yang tentunya partai politik ini representasi dari masyarakat. Jadi, apabila ada partai politik yang mengusulkan anak muda, maka ini bagian dari representasi masyarakat dan generasi muda.

Saya berpandangan, sangat tepat MK di bawah kepemimpinan Anwar Usman memberikan putusan ini. Mungkin dari faktor sosioligis menurut saya jika yang dikabulkan ini batas usia Capres dan Cawapres yang semula dari usia 40 tahun menjadi 35 tahun, walaupun UU sebelum ini mensyaratkan batasan usia 35 tahun kemudian dirubah menjadi 40 tahun dengan berbagai dasar pertimbangan, maka tepatlah MK mengambil jalan tengah yaitu berusia 40 tahun dan/atau pernah menjadi atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu (anggota DPR, DPD, DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota).

Jadi tingkat pembuktian kedewasaan pengalaman politik dalam memipin rakyat dapat dibuktikan melalui pemilihan umum sesuai kehendak rakyat, jika dikabulkan batas usia menjadi 35 tahun maka akan dipertanyakan juga apa yang menjadi dasar pertimbangan bahwa dia sudah dewasa secara politik walaupun semua ukuran ini bersifat relatif.

Maka yang paling tepat usia 40 tahun dan/atau pernah menjadi atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Saya melihat ada segelintir orang yang mungkin tidak menginginkan generasi muda memiliki peran lebih untuk menjadi bagian terpenting bagi kemajuan bangsa dan negara ini, memang terbukti baik dalam sejarah Indonesia bagaimana Sutan Sjahrir pada usianya yang masih 36 tahun, dia telah menjadi salah satu Perdana Menteri Indonesia.

Bagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an tentang 10 pemuda pemberani dalam surat Al-Kahfi, banyak kisah-kisah kesuksesan anak muda dalam memimpin dan diberikan kesempatan dalam memimpin pasti akan memberikan perubahan, karena bagaimana pun data KPU RI membaca Generasi Z Usia 1995-2000-an 46.800.161 atau 22,85 persen, sedangkan generasi milenial 66.822.389 atau 33,60 persen, jika ditotal generasi milenial dan generasi Z maka  113.622.550 orang atau 56,18 Persen, maka bisa dikatakan generasi muda memilki jumlah dan pengaruh yang besar untuk berpartisipasi politik, dalam hal ini Pemilan Umum.

Bahwa putusan hakim menuai pro dan kontra adalah hal yang wajar karena pada dasarnya putusan tidak dapat memuaskan semua pihak dan bahkan di kalangan hakim yang memutuspun dissenting opinion.

Sebagai orang hukum, saya menikai kurang etis apabila Hakim Konstitusi di-sentting-nya mengarah kapada hal-hal yang subyektif, tidak memberikan nalar hukum, apabila penalaran subyektif pribadi bukan nalar hukum lebih baik diutarkan di Rapat Permusyawartan Hakim, justru yang seperti ini memperlihatkan bahwa Hakim Konstitusi tersebut memiliki sarat kepentingan terhadap pengujian UU tersebut, karena kalah jumlah dalam memutus.

Bagaimana pun Negarawan harus menunjukkan sikap kenegarawannya dalam menjaga marwah lembaga bukan memberikan opini yang justru menambah penafsiran lain yang mencederai marwah konstitusi.

Menurut saya putusan ini tidak mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, ini putusan mewakili suara rakyat, terutama kami generasi muda, dalam beberapa putusannya MK terbukti tetap berpegang teguh pada Konstitusi dan demokrasi.

Terbukti hasil putusan sistem Pemilu proporsional terbuka, bagaimana diisukan bahwa informasi hasil Rapat Permusyawartan Hakim bocor dan telah dikabulkannya sistem pemilu proporsional tertutup, terkadang ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, memberikan pendapat yang pendapatnya pun tidak dapat dipertenggungjawabkan ketika tidak benar.

Terlahir, saya berharap semoga tulisan pendek saya ini bisa memberikan pemahaman hukum atas hasil putusan MK itu. Saya mengajak semua pihak untuk menghargai putusan hukum ini sehingga ke depannya kita menghadapi Pemilu yang menggembirakan.

*Penulis adalah Ketua Aliansi Pemuda Indonesia (API) dan Mahasiswa Magister Hukum Unpam

Editor: Ibrahim Bram Abdollah