Ketika Guru Dijanjikan Hormat tapi Tidak Diberikan Daya

Ilustrasi foto penulis. (Iba/Ist)
Ilustrasi foto penulis. (Iba/Ist)

Oleh: Muhammad Rajabul Gufron, S.Pd., M.A.*

Detikntbcom – Pada setiap akhir November, negeri ini merayakan Hari Guru Nasional lewat upacara, unggahan media sosial, dan kata-kata penghormatan. Namun di balik segala gestur simbolik itu, banyak guru tetap berdiri di kelas dengan beban yang tak pernah benar-benar terselesaikan: kurikulum yang kerap berubah, administrasi yang menumpuk, serta kompetisi dengan teknologi yang melaju lebih cepat daripada kesiapan sistem.

Dalam sebuah diskusi dengan guru-guru muda di Lombok, seorang peserta berkata, “Kami diminta terus kreatif, kami diminta terus inovatif, tetapi terhimpit oleh urusan administratif.” Kalimat sederhana ini merangkum paradoks yang dialami guru di seluruh Indonesia: mereka didorong untuk berkreasi, tetapi diikat oleh birokrasi.

Fenomena ini memperlihatkan ketegangan laten dalam sistem pendidikan kita. Indonesia, seperti negara lain, berada dalam tekanan global untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun setiap peringatan Hari Guru, kita seolah diminta merayakan “ketabahan” guru alih-alih mempersoalkan akar persoalan yang membuat profesi ini terus berada dalam posisi defensif. Ketika capaian literasi nasional masih tertinggal dari standar global, guru justru diminta berubah lebih cepat daripada kemampuan sistem menyediakan dukungannya. Pertanyaan sederhana pun muncul: apakah kita sungguh memperkuat guru, atau hanya menambah beban di pundak mereka?

Dari situ, Hari Guru Nasional seharusnya tidak dimaknai sebagai ritual tahunan yang berhenti pada puisi, bunga, dan slogan, melainkan sebagai momentum kritis untuk meninjau ulang bagaimana bangsa ini memperlakukan para pendidiknya. Dalam beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan semakin banyak guru dipolisikan hanya karena menegur siswa, guru dimarahi orang tua di ruang kelas, hingga kriminalisasi atas tindakan kedisiplinan dalam batas profesional. Peristiwa-peristiwa ini memperlihatkan betapa rapuhnya posisi guru hari ini. Mereka bukan hanya kehilangan otoritas moral, tetapi juga perlindungan sosial dan hukum yang sejatinya menjadi fondasi profesi mereka. Perlahan, sosok guru bergeser dari figur yang dihormati menjadi pihak paling mudah disalahkan ketika sistem gagal menjalankan fungsinya.

Kondisi kian memprihatinkan ketika menyentuh kesejahteraan guru honorer. Mereka memikul beban kerja yang sama dengan guru ASN, tetapi menerima upah yang bahkan tidak layak disebut sebagai penghidupan. Yang paling menyakitkan bukan hanya rendahnya pendapatan, melainkan ketidakpastian status yang menghantui mereka bertahun-tahun. Rekrutmen yang berubah-ubah, syarat administratif yang rumit, dan kebijakan yang tidak konsisten menunjukkan bahwa negara belum sungguh-sungguh menempatkan profesi guru sebagai prioritas pembangunan manusia. Dalam situasi seperti itu, bagaimana mungkin kita berharap pada sistem pendidikan yang kokoh?

Persoalan lain muncul dari perubahan kurikulum yang bergerak terlalu cepat. Hampir setiap lima tahun paradigma pendidikan berubah, tetapi kesiapan guru tidak pernah menjadi pusat perhatian. Mereka diminta memahami pembelajaran berbasis projek, asesmen diagnostik, literasi baru, hingga integrasi teknologi dan kecerdasan buatan—tanpa pelatihan memadai dan infrastruktur yang memungkinkan. Guru seakan dipaksa berlari di lintasan yang tak mereka kenali, namun dituntut mencapai garis akhir tanpa cela. Ketika mereka tertinggal, sistem segera menunjuk guru sebagai penyebabnya, bukan kelemahan kebijakan yang mendasarinya.

Dalam konteks inilah relevan sebuah frasa satir sebagai kritik sosial. Selama ini kita mengenal pepatah, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Namun kondisi hari ini justru melahirkan ironi baru: “guru kencing sambil berlari, murid kencing sambil salto.” Ungkapan ini bukan sekadar humor, melainkan potret telanjang atas situasi pendidikan yang memaksa guru terus berlari dikejar laporan, diburu perubahan kebijakan, dan dibayang-bayangi ketidakpastian, sementara murid bergerak dalam kebingungan yang lebih besar. Mereka tumbuh dalam kesenjangan literasi, kegamangan moral, dan tekanan akademik yang tidak terkelola. Satir itu mengingatkan kembali prinsip dasar bahwa guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Keteladanan mereka—cara berbicara, bersikap, dan menyelesaikan masalah—menjadi standar perilaku generasi muda. Karena itu, ketika guru bekerja dalam kondisi serba tergesa dan tidak stabil, pembentukan karakter murid pun kehilangan arah, bergerak “sambil salto” tanpa fondasi yang kokoh.

Tekanan baru juga datang dari penetrasi teknologi, terutama kecerdasan buatan. Idealnya, AI menjadi alat bantu pedagogis yang memperkuat kreativitas guru, bukan ancaman yang melemahkan posisi mereka. Namun ketidaksiapan sistem membuat teknologi ini kerap menjadi beban baru. Banyak guru tidak memiliki literasi digital memadai, bukan karena enggan belajar, melainkan karena negara tidak menyediakan pelatihan, perangkat, atau infrastruktur yang layak. AI kemudian berubah menjadi jargon kebijakan alih-alih solusi nyata. Akibatnya, teknologi justru memperlebar ketimpangan kualitas pendidikan antarwilayah.

Sementara itu, persoalan kesejahteraan psikologis guru jarang mendapat perhatian. Banyak dari mereka mengalami stres kronis akibat tekanan administratif, konflik dengan orang tua, dinamika kelas, hingga tuntutan kinerja yang tidak realistis. Kita menuntut guru menjadi figur sabar, bijaksana, dan penuh empati, tetapi sistem tidak memberi ruang pemulihan, pendampingan mental, atau perlindungan emosional. Kelelahan guru berdampak langsung pada kualitas pembelajaran, relasi dengan siswa, dan kesehatan mental anak-anak di sekolah. Pendidikan tak mungkin tumbuh di atas fondasi tenaga kerja yang kelelahan dan tidak dihargai; atau dengan kata lain, logika tanpa logistik adalah tindakan anarkis. Menuntut guru bekerja sempurna tanpa dukungan bukan hanya tidak rasional, tetapi menciptakan kekacauan sistemik yang merusak masa depan siswa.

Pada level nilai, kita sering lupa bahwa peran guru bukan hanya administratif, tetapi juga moral dan spiritual. Ki Hajar Dewantara mengingatkan melalui trilogi pendidikannya: ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Guru adalah teladan di depan, penggerak di tengah, dan penopang di belakang. Sementara itu, Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa menegaskan bahwa guru adalah pembawa kunci di alam fana, pembuka pintu di alam baqa—metafora yang menempatkan guru sebagai penjaga akhlak dan peradaban. Bangsa akan runtuh jika gurunya kehilangan martabat dan keteladanannya. Pemikiran ini merefleksikan kondisi hari ini: ketika guru terhimpit oleh sistem yang tidak memanusiakan, bagaimana mungkin mereka menjalankan peran luhur sebagaimana diajarkan para pendiri bangsa?

Dalam kenyataan yang semakin dipengaruhi komodifikasi pendidikan, peran sosial guru makin tergerus. Ketika sekolah diperlakukan sebagai industri dan siswa sebagai pelanggan, guru berubah menjadi operator layanan. Nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi inti pendidikan sering kalah oleh logika administrasi, pencitraan lembaga, dan aktivitas seremonial yang sekadar mempercantik laporan. Keberhasilan guru direduksi menjadi daftar checklist, bukan transformasi karakter dan kemampuan murid. Padahal pendidikan adalah relasi kemanusiaan, bukan transaksi.

Karena itu, Hari Guru Nasional harus menjadi momen evaluasi serius atas persoalan struktural ini. Frasa “pahlawan tanpa tanda jasa” terdengar indah, tetapi sering menjadi alasan yang membungkam protes terhadap ketidakadilan. Guru tetap manusia—dan manusia membutuhkan gaji layak, status jelas, perlindungan hukum, pelatihan bermutu, serta kehadiran negara yang tidak hanya hadir dalam seremoni. Tanpa itu, kita sebenarnya sedang merayakan pendidikan yang hampa keberpihakan.

Jika bangsa ini sungguh ingin menegakkan martabat pendidikan, maka kita membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa akar krisis terletak pada lemahnya komitmen negara dan masyarakat dalam menempatkan guru sebagai pusat pembangunan. Guru adalah poros peradaban. Ketika mereka dipaksa “berlari sambil kencing,” murid akan “salto” tanpa kendali. Karena itu, Hari Guru Nasional harus menjadi seruan keras untuk memperbaiki kondisi struktural—bukan sekadar seremoni tahunan. Dari kemampuan kita memanusiakan guru, masa depan bangsa ini sesungguhnya dimulai.

*Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nahdlatul Wathan Mataram

Editor: Ibrahim Bram Abdollah