Detikntbcom – Klaim Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Nusa Tenggara I, Eka Nugraha Abdi, yang menyebut Bendungan Meninting “tidak berada di zona gempa megathrust dan seluruh konstruksinya telah teruji aman”, memantik reaksi keras dari kalangan masyarakat sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil NTB menilai pernyataan tersebut tidak berdasar secara ilmiah dan hukum, serta menuntut agar pemerintah membuka seluruh data geoteknik dan uji kegempaan proyek senilai Rp1,4 triliun itu ke publik.
“Pernyataan Kepala BBWS justru ngawur. Fakta ilmiah menunjukkan Lombok berada dalam sistem tektonik aktif dan sangat kompleks. Data tidak bisa dibohongi,” tegas Muhammad Arief, S.H., kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil NTB, di Mataram, Selasa (7/10) di Mataram.
Fakta Tektonik: Lombok di Pusaran Zona Aktif Megathrust
Lombok merupakan salah satu wilayah paling aktif secara tektonik di Indonesia. Berdasarkan catatan BMKG, sejak 2018 hingga 2025 tercatat lebih dari 700 gempa signifikan mengguncang wilayah ini termasuk gempa dahsyat berkekuatan 6,9 magnitudo pada 2018 yang menewaskan ratusan orang dan meruntuhkan ribuan bangunan.
Lokasi Bendungan Meninting di Lombok Barat berada di antara dua sistem besar yaitu Zona Megathrust Selatan Jawa–Sumbawa dan Sistem Sesar Busur Belakang Flores (Flores Back Arc Thrust) dua jalur sesar aktif yang menurut para ahli, mampu memicu gempa besar di laut dangkal dan bahkan tsunami.
Laporan ilmiah tahun 2023 yang disusun Prof. Kevin Furlong dari Pennsylvania State University bersama 11 peneliti dari berbagai universitas di Amerika Serikat menegaskan bahwa wilayah Nusa Tenggara Barat berpotensi mengalami gempa megathrust hingga magnitudo 9, akibat interaksi subduksi lempeng Australia dengan busur belakang Flores.
Bahkan data BMKG 2023–2025 mencatat intensitas guncangan hingga skala MMI IV–V di beberapa titik Lombok Barat, termasuk sekitar Meninting. Ini menandakan zona tekanan (stress zone) di bawah permukaan masih aktif dan berpotensi menyebabkan deformasi lokal meskipun jauh dari garis sesar utama.
“Jadi bagaimana bisa disebut aman? Secara geologi, Lombok adalah zona aktif. Klaim aman total justru membahayakan karena menafikan risiko riil,” tegas Arief.
Kritik Hukum: Klaim Aman Bukan Bukti Yuridis
Dari sisi hukum, Arief menegaskan bahwa proyek infrastruktur publik di wilayah rawan bencana harus tunduk pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
“Kalimat ‘sudah teruji aman’ tidak bisa dijadikan dasar hukum. Yang sah secara yuridis adalah hasil uji laboratorium, laporan geoteknik, audit independen, dan dokumen risiko bencana yang dapat diuji publik,” jelasnya.
Ia juga menyinggung kewajiban pemerintah membuka data proyek kepada publik sesuai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Publik berhak tahu apa dasar ilmiah bendungan ini disebut aman dari gempa. Kalau semua klaim tanpa bukti terbuka, itu bukan transparansi, tapi pembodohan,” sindirnya tajam.
Gugatan Disiapkan: Audit Independen dan Keterbukaan Data Diminta
Koalisi Masyarakat Sipil NTB memastikan akan menguji pernyataan BBWS NT I di pengadilan, sekaligus menuntut audit teknis independen terhadap seluruh aspek keamanan Bendungan Meninting.
Dalam petitum gugatannya, mereka meminta audit geoteknik dan kegempaan independen,, Pemantauan deformasi dan seismik real-time dan Pembaruan AMDAL dengan melibatkan BMKG, PVMBG, universitas, dan Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI).
Apabila terbukti terdapat kelalaian atau pengabaian prinsip kehati-hatian dalam perencanaan proyek, maka unsur perbuatan melawan hukum (PMH) oleh penyelenggara negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dan perdata.
“Kita tidak menolak pembangunan. Tapi kebenaran tidak boleh dibangun dengan klaim kosong. Bendungan boleh kuat, tapi kepercayaan publik tidak bisa dibangun tanpa transparansi dan tanggung jawab,” tegas Arief.
Catatan Redaksi
Proyek Bendungan Meninting merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikerjakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Nusa Tenggara I dengan nilai kontrak mencapai Rp1,4 triliun.
Bendungan ini ditargetkan untuk mendukung ketahanan pangan dan penyediaan air baku di Lombok Barat dan Kota Mataram. (Iba)