Kantor Kejati dan Distanbun NTB diselimuti kain putih, minta kasus irigasi tetes diatensi

Puluhan meter kain putih dibentangkan di depan kantor Kejati dan Distanbun NTB minta kasus irigasi tetes diatensi (Ist)

Mataram (Detikntbcom) – Kantor Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dan Kantor Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi NTB, diselimuti kain putih puluhan meter.

Bentangan kain putih tersebut kata Koordinator Aksi, Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Nusantara (Japma NTB) Saidin Alfajari sebagai bentuk protes masyarakat terhadap dugaan korupsi atas proyek irigasi tetes di Lombok Utara dan Sumbawa senilai Rp 28 miliar.

Sikap menutup kantor Kejati NTB dan Distanbun NTB dengan kain putih itu bentuk menggugah hati nurani para pejabat setempat supaya membuka mata atas derita petani di Lombok Utara dan Sumbawa.

Meskipun niat pemerintah provinsi untuk mengatasi kekeringan lahan pertanian di Desa Akar-Akar, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, seluas 200 hektare. Namun, anehnya, tidak berjalan sesuai harapan akibat tidak berfungsi.

“Tahun 2019, Pemerintah Provinsi NTB meluncurkan program irigasi tetes, anggaran Rp 19 Miliar. Program tersebut dihajatkan untuk mengatasi kekeringan lahan pertanian, khususnya saat kemarau. Tapi, kekeringan itu belum bisa diatasi karena instalasi itu tidak berfungsi,” ungkapnya, di Senin (27/9) di Mataram.

Saidin memaparkan, dalam perencanaannya mekanisme kerja instalasi irigasi tetes tersebut bersumber dari lima pompa air dengan kapasitas besar. Kemudian air dialiri melalui pipa penghubung yang membentang di lahan 200 hektare. Dari pipa utama, terdapat pipa tambahan yang bercabang menjulur ke area persawahan. Air dari pompa akan diatur alirannya melalui pipa pipa kecil.

Berdasarkan pantauan dan pengamatannya di lapangan, program yang digadang-gadang solusi kekeringan di Desa Akar-Akar, Kecamatan Bayan, Lombok Utara tersebut dinilai gagal dan tidak sesuai dengan apa yang di sosialisasikan pemerintah.

Pasalnya masyarakat masih mengandalkan air hujan sebagai sumber air dalam pengolahan lahan, terutama petani jagung. Proyek yang menelan anggaran 19 Miliar tersebut dinilai terlalu dipaksakan dan tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang.

“Kami menilai dan menduga, proyek tesebut sebagai ajang imbal jasa dan bagi kue. Gagalnya proyek irigasi tetes diduga sebagai konspirasi untuk merampok uang negara,” kata dia.

Kuat dugaan Saidin, tahun 2019 proyek tersebut dinilai tidak berjalan bahkan dinilai gagal, namun anehnya, di tahun 2020, Pemerintah NTB kembali menganggarkan dana sebesar Rp 9 Miliar lebih untuk pengadaan Program Irigasi Tetes ini di wilayah Pulau Sumbawa.

Dugaan Praktek Monopoli dalam Pemenangan Proyek Irigasi Tetes
Berdasarkan penelusuran di LPSE Provinsi Nusa Tenggara Barat, proyek Irigasi Tetes tahap I berada di Desa Akar-Akar, Kecamatan Bayan, Lombok Utara dan menelan anggaran sebesar 19 Miliar Rupiah.

Dalam situs LPSE tersebut menyebutkan PT DSR yang berdomisili di Jakarta tersebut muncul sebagai pemenang, mengalahkan beberapa pesaing lainnya.

Tahun 2020 saat negara sedang sibuk mengurus pandemi Covid-19, pemerintah NTB kembali menganggarkan proyek Irigasi Tetes dan memenangkan perusahaan yang sama dengan pemenang sebelumnya, PT DSR untuk mengerjakan proyek tersebut di Desa Aik Kebak, Alas Barat, Kabupaten Sumbawa senilai Rp 9 Miliar lebih.

Secara logika, proyek yang sudah gagal seharusnya dievaluasi dan tidak perlu dianggarkan kembali, sehingga jika melihat proyek irigasi tetes tersebut maka Koalisi Mahasiswa Lombok Jakarta patut curiga dan menduga bahwa ada konspirasi merampok uang negara di dalam program Irigasi Tetes tersebut.

Terlebih PT DSR sebagai pemenang tender sebelumnya, dimenangkan kembali untuk mengerjakan proyek yang sama.

Tidak sampai disitu, ada desas-desus yang menyebutkan bahwa PT DSR diketahui memiliki kedekatan kuat dengan penguasa daerah, malah diduga terlibat aktif dalam proses penunjukan PT DSR sebagai pemenang tender irigasi tetes tersebut.

“Kalau Dinas melempar kesalahan ke Mitra, sangat salah. Apalagi berdalih Solar langka. Dimana pernah langka, apakah ada surat kelangkaan dari Depo Ampenan, jangan berdalih lah,” tegasnya.

Adanya alasan tidak masuk akal itu membuat Japma NTB meminta Kejati NTB segera memeriksa atau memanggil PPK proyek tersebut, termasuk kontraktor yang mengerjakan irigasi tetes itu.

“Proyek dengan nilai fantastis di masa pandemi ini gak dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat, ini kami anggap gagal,” cetusnya.

Terkait hal itu, Kepala Distanbun NTB, M Riadi dikonfirmasi mengaku irigasi tetes ini masih berfungsi dengan baik, kecuali di areal 10 hektare yang terbakar. Kondisi saat ini yang ada tanaman jagungnya sekitar 30 hektare, ditanam secara swadaya oleh petani.

“PT. Agrindo sebagai mitra petani saat minggu kemarin sedang melakukan pengolahan tanah, rencananya minggu ini mulai tanam sekitar 30 hektare,” kilahnya.

Riadi menambahkan, di areal yang lainnnya, petani tidak berani tanam jagung karna pada tahun 2020 kemarin, pada saat semua areal 200 hektare itu ditanami jagung oleh PT. Agrindo sebagai mitra petani, terjadi kelangkaan solar sehingga gagal panen sekitar 70 ha. Dari pengalaman tahun 2020 inilah yang menyebabkan petani saat ini tidak berani nanam jagung karena kuatir akan terjadi lagi kelangkaan solar. (Oleng)