OPINI: Politik identitas dan pengaruhnya di NTB

Penulis: Anjasmara (Istimewa).

Oleh : Anjasmara*

L. A Kauffman menjelaskan pertama kali hakikat politik identitas dengan merefleksi gerakan mahasiswa anti kekerasan yang dikenal SNCC (The student nonviolent coordinatting committee), sebuah organisasi hak sipil di Amerika serikat tahun 1960.

Pencipta istilah politik identitas masih kabur sampai hari ini, tetapi secara subtantif politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota kelompok yang merasa di singkirkan, di peras, dalam dominasi arus besar.

Di Amerika Serikat teori politik identitas menjadi dalil bagi kaum merasa tertindas, terperas dan tersingkir untuk menumbuhkembangkan keadilan menurut keyakinan pandangan Gutman ‘Politik Identitas’ juga terlihat dalam gerakan Martin Luther King dan uskup-uskup Khatolik di Amerika, sesungguhnya lebih didorong oleh argumen keadilan sosial, bukan karena alasan agamanya, karena politik identitas sering dikaitkan dengan soal, etnis, budaya, agama dan ras.

Dalam tataran historis gerakan kaum muslim amerika berkulit hitam sering kali mengalami tindakan ketidakadilan, tidak mengedepankan persamaan ‘Equality‘ (Baca: Politik Identitas dan Masa depan Pluralisme Kita/Ahmad Syafi’i Mari’if).

Pada tataran sejarah politik identitas terlihat provokatif, secara subtantif identitas menjadi nilai fundamental pada perpolitikan, terpenting asas kebermanfaatan masyarakat terpenuhi.

Dr. Ihsan Hamid selaku pengamat politik NTB, menjelaskan politik identitas tidak bisa dihindari, dalam sosiologis tidak bisa dihilangkan. Menurutnya, identitas politik tidak bisa hilang namun perlu dibatasi. Identitas secara sosiologis tetap ada, namun perlu batasan dalam penggunaan agar tidak loss contol.

Hemat Penulis, politik identitas sesuatu yang melekat pada diri mereka, salah satunya ormas di NTB memiliki massa tidak menutup kemungkinan bisa memimpin kembali NTB.

Sejarah mencatat bahwa politik identitas banyak mengalami hegemoni besar-besaran, memberi peluang para buzzer dan antek-antek oligarki, menimbulkan kegaduhan pada opini publik sehingga demokrasi di NTB merasa terancam.

Menurut Ketua Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, mengenai politik identitas, kata Doktor Ahli Tafsir Alquran ini, semua individu lahir dengan sederet identitas yang bersifat diberikan (given). Mulai jenis kelamin, ras, bahkan juga agama. Misalnya orang tua beragama A, kemudian anaknya mengikuti beragama A.

Dapat juga identitas lahir karena kerja sosial atau juga dari pendidikan sampai latar belakang profesi itu semua identitas, penting nilai keadilan sosial,” ujarnya. (Baca: Republika) .

Pada paradigma islam “Al-ijtima‘ dharuriyun linauil insan”, kata Ibnu Khaldun, Solidaritas adalah keniscayaan sosial. Apakah berbentuk mekanik atau organik. Solidaritas sosial akan selalu ada di sepanjang sejarah, kata Emile Durkheim.

Terpenting politik identitas tetap mengedepankan asas kebersamaan, tidak membatasi hak person dalam memilih, tidak menyalahkan gunakan identitas sebagai sarana mengejar kepentingan, dalam penekanan islam jangan sampai memilih orang kafir untuk menjadi pemimpin walaupun dia memiliki banyak massalnya (Identitas).

Menurut Surat Al-Ma’idah ayat 51 berbunyi sebaga berikut: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim “.

Politik identitas harus menjadi sentralistik dalam mengedepankan nilai-nilai demokrasi di tanah tuan guru (NTB), tidak boleh dijadikan alat meraut kekuasaan, karena jalan kematian demokrasi.

Demokrasi tidak juga mendikte posisi identitas karena harus terlihat seimbang di mata publik karena keadilan paling utama dalam perpolitikan.

Penulis berharap di tahun 2024 NTB harus betul-betul ideal menjalankan pemilu yang sehat, kita harus menjaga bersama nilai demokrasi, berdasarkan fakta sosial NTB Kabupaten Dompu di pelosok Desa masih melekat soal mayoritas keluarga yang memenangkan pemilu.

Masalah ini perlu diatensi khusus pemerintah dan penyelenggara Pemilu karena akan mengancam demokrasi karena faktor kepentingan individu dan kelompok semata.

Pemilu 2024 harus membangun pemilihan berdemokrasi tanpa melabelkan nepotisme dalam memilih pemimpin, demi kemaslahatan ummat, artinya Bawaslu dan pengurusnya ke bawah bertanggung jawab penuh mensosialisasikan sampai kemasyarakat awam, fakta sosial mengatakan tim pemandu pemilihan tersebut hanya bersosialisasi di balai desa dan istitut kepolisian.

*Penulis adalah pengurus HMI Cabang Mataram periode 2022-2023

Editor: Ibrahim Bram Abdollah