Oleh: Dwi Joko Nugroho
Detikntbcom – Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (PEMIRA) Universitas Mataram 2025, yang semestinya menjadi pesta demokrasi mahasiswa, justru berubah menjadi krisis legitimasi.
Sejak Maret lalu, proses pemira yang sudah berjalan hingga penghitungan suara berakhir dengan keputusan mengejutkan: hasil pemira dibatalkan melalui rekomendasi Tim Ahli Hukum pada 1 Juli 2025.
Rektorat berjanji akan menggelar pemira ulang, namun hingga akhir Agustus tidak ada kepastian jadwal maupun mekanisme. Janji pengumuman melalui laman resmi @officialunram hanya berakhir pada diamnya birokrasi.
DPMU yang Hilang dari Arena Demokrasi
Kekacauan tidak berhenti di pemira eksekutif BEM. Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU)—lembaga legislatif mahasiswa—tak kunjung dilantik hingga hari ini. Padahal Peraturan Rektor Nomor 9 Tahun 2019 menegaskan DPMU wajib terbentuk maksimal 14 hari setelah sidang umum.
Ironisnya, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (WR3) sempat menyatakan DPMU tahun ini tidak akan dilantik karena adanya sengketa BEM. Pernyataan ini menuai kritik keras.
“DPMU dan BEM itu lembaga berbeda. Membatalkan DPM hanya karena BEM bermasalah sama saja dengan membubarkan DPR ketika presiden digugat,” ujar seorang aktivis Fakultas Hukum.
Sumber internal lain menilai keputusan ini sarat penyalahgunaan wewenang. “Penundaan ini bukan sekadar kelalaian. Ada kesan kuat rektorat ingin mematikan ruang kontrol mahasiswa, terutama dari DPM,” katanya.
Aturan yang Diabaikan
Peraturan Rektor Nomor 9 Tahun 2019 memberi landasan hukum yang tegas:
- Pasal 7 ayat (5): DPMU wajib menyusun struktur kepengurusan paling lama 14 hari setelah sidang umum.
- Pasal 8 ayat (1–3): Rektor wajib menetapkan dan melantik DPMU setelah struktur diajukan.
- Pasal 9–13: Menjabarkan fungsi DPMU, mulai dari merancang Garis Besar Program Kegiatan Organisasi (GBPKO), menyelenggarakan pemilihan BEM, menyalurkan aspirasi mahasiswa, hingga mengawasi jalannya BEM.
Dengan aturan selugas ini, penundaan pelantikan DPMU tidak punya dasar hukum. Sengketa pemira hanya menyangkut BEM, bukan DPMU. Jika DPM tidak dilantik, universitas bukan hanya melanggar aturan internal, tetapi juga merampas hak mahasiswa atas representasi sah.
Benih Otoritarianisme di Kampus
Universitas seharusnya menjadi laboratorium demokrasi. Namun, fakta menunjukkan arah sebaliknya:
- Hasil pemira sah dibatalkan tanpa kepastian pemira ulang.
- DPMU tidak kunjung dilantik meski diatur dalam peraturan rektor.
- Wacana peniadaan BEM mencuat di tengah polemik.
“Bagaimana mungkin lembaga pengawas dihapus saat lembaga eksekutif bermasalah? Itu justru membuka ruang kekuasaan absolut tanpa kontrol,” kata seorang mahasiswa FISIP.
Situasi ini menciptakan preseden berbahaya: suara mahasiswa bisa diabaikan, aturan dilanggar, dan lembaga representasi dipangkas atas nama sengketa. Jika dibiarkan, benih otoritarianisme akan tumbuh subur di kampus.
Kronologi Polemik PEMIRA Unram 2025
- Maret 2025: PEMIRA digelar, diwarnai sengketa antar kandidat.
- April 2025: Salah satu tim calon mengajukan gugatan terhadap hasil pemira.
- 1 Juli 2025: Tim Ahli Hukum merekomendasikan pembatalan hasil pemira dan pemira ulang.
- Juli–Agustus 2025: Tidak ada jadwal resmi pemira ulang. Rektorat hanya menyebut “akan diumumkan” lewat laman resmi.
- Agustus 2025: DPMU tidak kunjung dilantik. WR3 menyatakan DPM ditiadakan karena adanya sengketa BEM.
Menuntut Transparansi
Mahasiswa kini menuntut dua hal utama:
- Transparansi penuh rektorat mengenai dasar hukum penundaan pemira ulang dan pelantikan DPMU.
- Kepastian segera pelaksanaan pemira ulang dan pelantikan DPM sesuai aturan yang berlaku.
“Ini bukan sekadar soal siapa yang duduk di BEM atau DPM. Ini soal apakah suara mahasiswa masih dihitung atau tidak,” ujar seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi.
Pertaruhan Demokrasi Kampus
Polemik PEMIRA Unram 2025 menjadi pertaruhan serius bagi wajah demokrasi kampus di NTB. Tanpa kepastian, sejarah akan mencatat Universitas Mataram sebagai kampus yang gagal menjaga demokrasi mahasiswa, bahkan ikut andil meruntuhkannya.
Pertanyaan besar pun menggantung: apakah rektorat benar-benar berkomitmen menjaga demokrasi mahasiswa, atau justru sedang memainkan skenario untuk membungkamnya?
*Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Mataram (Unram)
Editor: Ibrahim Bram Abdollah












