Penanganan stunting harus masuk program aspirasi DPRD NTB

Ketua DPRD NTB Hj Baiq Isvie Rupaeda. (Dokumen Istimewa)

Mataram (Detikntbcom) – Kasus Stunting di Nusa Tenggara Barat tak pernah tuntas, prevalensi stunting rata-rata di NTB di angka 31,4 persen. Hal ini merupakan salah satu persoalan kesehatan di masyarakat yang harus mendapat atensi semua pihak. Tak hanya pemerintah daerah, namun semua stakeholder juga diharapkan secara aktif untuk menuntaskan kasus ini.

Ketua DPRD Provinsi NTB Hj Baiq Isvie Rupaeda menegaskan, untuk mempercepat penanganan masalah stunting di daerah ini, seluruh anggota dewan NTB juga harus memberikan perhatian pada persoalan ini melalui program aspirasinya.

gambar Iklan

“Karena itu dalam program aspirasi DPRD NTB, program stunting juga harus dimasukkan. Karenanya, ini tidak hanya menjadi urusan pemerintah daerah dalam hal ini eksekutif, namun memerlukan seluruh komponen untuk bergerak menyelesaikan masalah stunting ini,” kata Baiq Isvie Rupaeda Jumat 8 April 2022.

Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting rata-rata di NTB di angka 31,4 persen. Stunting merupakan sebuah kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Stunting ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal sesuai dengan usianya. Stunting biasanya pendek (walau pendek belum tentu stunting) serta gangguan kecerdasan.

Dengan ancaman kesehatan dan kecerdasan, maka generasi yang terkena stunting akan mengalami berbagai permasalahan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin beragam ke depannya. Karena itulah Baiq Isvie mengharapkan agar kolaborasi dan sinergitas menjadi kunci penanganan stunting di seluruh kabupaten/kota di NTB.

Selain masalah stunting, hal yang perlu terus mendapat perhatian oleh pemerintah daerah dan stakeholder yaitu masalah kemiskinan ekstrem. Ia menilai untuk menurunkan angka kemiskinan memiliki tantangan yang besar di NTB, karena daerah ini pernah dilanda gempa tahun 2018 dan dilanjutkan dengan bencana pandemi Covid-19 yang melanda hingga sekarang.

“Menuntaskan kemiskinan butuh perhatian kita bersama. Jangan selesaikan masalah ini secara sporadis, namun bagaimana pemerintah bisa memberikan modal usaha kepada masyarakat yang disertai dengan pelatihan, bimbingan dan pengawasan agar usahanya terus berkembang dan menciptakan lapangan kerja baru,” terangnya.

Pemerintah bersama Pemerintah desa juga disarankan untuk membuat program-program yang melibatkan masyarakat di desa guna menurunkan angka pengangguran. Misalnya dengan membuat program padat karya yang memungkinkan angkatan kerja baru memiliki penghasilan dari program ini. Pola ini diyakini akan mengurangi angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan.

Angka kemiskinan ekstrem di Provinsi NTB sebanyak 284 ribu jiwa, sesuai dengan data yang disajikan oleh Kementerian dalam Negeri dalam acara Musrenbang NTB pekan lalu. Terdapat 8 Kabupaten/Kota yang termasuk dalam 212 kabupaten wilayah prioritas tahun 2022 secara nasional yaitu Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Lombok Utara, Kota Mataram, Kota Bima.

Miskin ekstrem didefinisikan sebagai kondisi dimana kesejahteraan masyarakat berada di bawah garis kemiskinan esktrem-setara dengan 1,9 Dollar Amerika paritas daya beli masyarakat. Adapun tingkat kemiskinan ekstrem tahun 2021 secara nasional sebesar 4 persen atau 10.865.279 jiwa. (Iba)