Pemprov diminta beri subsidi petani atasi kemiskinan di NTB

Ilustrasi petani jagung (Ist)

Mataram (Detikntbcom) – Sekretaris Komisi II Bidang Perekonomian DPRD NTB, H Haerul Warisin tidak setuju bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang mendominasi kemiskinan ekstrim di Nusa Tenggara Barat.

“Sebenarnya saya tidak setuju kalau sektor pertanian disebut mendominasi kemiskinan ekstrim di Nusa Tenggara Barat. Kalau menyebut oknum buruh tani dan buruh kebun masuk akal karena mereka mungkin tidak punya lahan. Karena mereka itu kan sebagai buruh tani dan buruh kebun yang tidak bisa mendapatkan upah maksimal akibat komoditi hasil pertanian ini tidak bisa mencapai harga bagus sesuai harapan petani, terganjal harga pupuk dan pestisida tinggi,” ungkapnya, Jumat 22 Juli 2022.

gambar Iklan

Menurut sapaan H Iron ini, persoalan petani selama ini dan kurangnya produksi komoditi akibat biaya produksi terlalu tinggi, dimana harga pupuk dan pestisida tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga membuat petani berat selama produksi.

“Mestinya pemerintah provinsi NTB berikan petani subsidi pupuk dan pestisida agar produksi pertani meningkat, dengan demikian buruh tani dan buruh kebun itu bisa diberikan upah lebih tinggi. Kan sektor pertanian tidak perlu lagi disebut mendominasi kemiskinan,” tegasnya.

Yang jelas lanjutnya, petani sebagai pemilik sawah, tidak bisa dikatakan miskin karena mereka ini mempunyai lahan yang dikelola.

“Jika pemerintah sudah mengetahui sektor pertanian mendominasi kemiskinan ekstrem. Mestinya harus peduli terhadap petani dengan memberikan subsidi pupuk dan pestisida, bukan terkesan menekan harga tinggi, jangan hanya memperhatikan infrastruktur saja lah,” sentil politisi partai Gerindra ini.

Selain memberikan solusi subsidi pupuk dan pestisida. Pemerintah Provinsi NTB juga harus memfasilitasi petani menjual hasil produksi, bukan terhadap jagung dan bawang saja. “Kalau jagung, tidak perlu Gubernur susah meminta naikkan harga beli jagung ke Pemerintah Pusat, karena jagung saat ini sedang dibutuhkan akibat banyaknya pabrik pakan ternak, tentu harga pasti mengikuti. Yang perlu dilakukan, carikan pangsa pasar dan harga komoditi lain juga supaya petani tidak miskin,”ujarnya.

Haerul Warisin juga menyinggung komoditi gabah dan beras petani yang tidak di akomodir. “Jangan import lah, dari pada import dengan harga tinggi lebih baik berdayakan hasil petani lokal, tentu membantu menurunkan angka kemiskinan itu. Begitu halnya ketika ada program pembagian bantuan PKH didalamnya ada beras dan lain-lain. Mestinya pemerintah daerah membeli beras hasil produksi petani yang sudah dibeli dan di stok oleh Bulog ini, karena kalau terus disimpan Bulog, ratusan ribu ton itu bisa berkutu. Hanya saja pemerintah tidak bisa berdayakan itu,” tegasnya.

Dikatakan Haerul Warisin, saat ini Bulog bukan lagi difungsikan sebagai lembaga BUMN yang menstabilkan harga beras, tapi terkesan di swastakan. “Masak import beras, padahal di NTB misalnya surplus gabah dan beras, tinggal beli hasil petani,” cetus H. Iron.

Iron berharap Pemerintah Provinsi NTB bisa menekan angka kemiskinan itu dengan cara berdayakan BUMD untuk membeli hasil produksi petani, bekerjasama dengan Bulog.

“Kalau ini bisa dilakukan, tidak akan ada petani mengeluh, kemiskinan bisa berkurang,” tutupnya. (Iba)