Detikntbcom – Anggota Bawaslu Provinsi NTB Suhardi menyalurkan hak suaranya di TPS 08 Dusun Karang Bongkot, Desa Karang Bongkot Kecamatan Labuapi Lombok Barat.
Suhardi berangkat ke TPS sekitar Pukul 09.30 Wita, disambut Ketua KPPS Husni Hamdan.
Anggota Bawaslu Divisi ini menyalurkan hak pilih layaknya warga lain.
Proses pencoblosan di TPS tersebut berjalan lancar dan khidmat.
Koordinator Divisi Hukum, Humas, Data dan Informasi ini saat diwawancara menjelaskan, proses Pemilihan 2024 jadi momentum pesta demokrasi bagi seluruh masyarakat NTB.
Namun ia menyesalkan masih terjadi kisruh dipicu dua hal, praktik money politics dan konflik horizontal di tingkat masyarakat.
Padahal sejatinya, Pemilu 2024, baik Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang dipilih akan melayani semua lapisan masyarakat. Baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung.
“Sayang sekali kalau pada akhirnya pesta lima tahunan ini harus diakhiri dengan konflik, hanya karena teknis Pemilu, hanya kerana siapa yang akan dipilih,” sesal Suhardi, merujuk pada sejumlah daerah merah berdasarkan pemetaan zona kerawanan Pemilu di NTB.
Selain konflik, Pemilu kali ini dibumbui dengan praktik money politics atau politik transaksional. Ia mendengar langsung dari masyarakat soal tarif dan nilai transaksinya.
“Saya sedih mendengar, masyarakat mau datang ke TPS karena orientasi tertentu. Sedih kita,” ujarnya.
Tarif Rp50.000 dan Rp100.000 bisa yang diisukan bertebaran di masyarakat, sudah menjadi harga dari nilai setiap suara.
“Jangan sampai generasi ke depan ini, tertanam di kepalanya, datang memilih karena dikasi uang segini, nilai segini,” tegas Suhardi.
Jika praktik ini terjadi dan dapat dibuktikan secara materil dan formil, maka tidak menutup kemungkinan fatal dampaknya. Yakni diskualifikasi calon kepala daerah.
Bagaimana dengan penindakan Bawaslu?
Di sinilah kesulitannya. Menurut dia, banyak pelanggaran yang tidak terjangkau penindakan. Alasannya bukan karena terbentur aturan, tapi praktik terlarang ini terjadi secara massif.
Bahkan melibatkan masyarakat di banyak lapisan sehingga menyulitkan, karena penindakan mengharuskan dilakukan secara massal.
“Ini bukan masalah di regulasinya, tapi ini masalah di budaya hukum masyarakat kita. Masyarakat kita ini mentoleransi ini (politik uang). Tidak merasa terhina dengan Rp10.000 – Rp20.000, katanya butuh ini (uang). Ini yang sangat kita prihatin,” tegas mantan komisioner Bawaslu Lombok Barat ini.
“Sangat tidak mungkin diproses semua. Kan pemberi dan penerima harus dijerat. Kan habis (ditangkap) semua pemilih kita ini,” ujarnya.
Karena itu, dua fenomena tersebut akan jadi landasan pihaknya untuk melakukan evaluasi. Tapi di samping itu, harus dicermati pembuat Undang Undang agar segera melakukan penyesuaian. Karena UU Pemilu dan penindakan pelanggaran di dalamnya, sebagian sudah tidak relevan. (Iba)